“TEORI EVALUASI PENDIDIKAN”
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan pendidikan, baik formal maupun non-formal, pada umumnya harus member informasi dan memberi pertanggung jawaban kepada publik tentang berbagai aspek yang terkait dengan pelaksanaan dan hasil yang dicapai. Informasi semacam ini bukan hanya dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengembangan. Informasi semacam ini dapat dihimpun malalui proses yang disebu dengan evaluasi.
Porsi terbesar dari pelaksanaan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah pada aspek belajar mengajar, yang disebut juga dengan aspek akademik. Terkait dengan aspek ini, pelaksanaan evaluasi difokuskan pada kinerja proses dan hasil belajar yang dijadikan indicator keberhasilan proses belajar mengajar (proses akademik). Kegiatan evaluasi ini adakalanya dilaksanakan dalam rangka menyimpulkan tentang derajat kebaikan kinerja hasil, yang juga berimplikasi pada derajat keberhasilan prosesnya, atau untuk memperoleh umpan balik yang dijadikan dasar bagi upaya-upaya perbaikan proses.
B. Hakekat Evaluasi Pendidikan
Istilah evaluasi (evalution) berbeda dengan istilah penilaian (assesment ). Evaluasi digunakan dalam konteks yang lebih luas dan bias dilaksanakan baik secara eksternal ( oleh orang yang berada di luar system ) maupun secara internal. We use the word evalution to deignate summing-up process in wich value judgementsplay a large part, as in grading and promoting students. We consider the construction, administration, and scoring of test as the measurement process ( Stanley and Hopkins, 1978, h 3 ). Adapaun penilaian digunakan dalam konteks yang lebih sempit dan biasanya dilaksanakan secara internal, yakni oleh orang-orang yang menjadi bagian suatu sistem. Dalam evaluasi ada lima factor yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Evaluasi berkait dengan kegiatan member nilai (value), yaitu derajat kebaikan atau mutu dari objek yang dievaluasi.
b. Pemberian nilai adalakanya digunakan untuk kepentingan sumatif, yaitu mengambil kesimpulan tentang kberadaan nilai suatu hasil yang juga menggambarkan keberhasilan prosesnya, atau kepentingan formatif, yaitu mencari bahan-bahan umpan balik yang akan digunakan untuk melakukan perbaikan terhadap terhadap proses.
c. Nilai yang diberikan mangacu kepada suatu patokan tertentu, dengan pilihan a) kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu (evaluasi berpatokan kriteria ), b) norma yang bersifat relatif yang dibuat berdasarkan data yang diperoleh (evaluasi berpatokan norma), dan c) gabungan kedua patokan tersebut.
d. Pemberian nilai berdasarkan atas data atau informasi yang dikumpulkan denga teknik-teknik, seperti pengujian, pengamatan wawancara, dan hasil pekerjaan.
e. Hasilnya secara komprehensif dan tepat (akurat) menggambarkan keadaan yang sebenarnya (obyektif) dari derajat kebaikan obyek yang dinilai.
Fokus Evaluasi
Fokus evaluasi terdiri dari empat macam,yaitu evaluasi program,evaluasi proses,evaluasi hasil,dan evaluasi dampak. Dalam evaluasi program pelaksanaan evaluasi di fokuskan pada programnya itu sendiri. Dalam konteks pendidikan program itu dapat berupa program kegiatan yang di rancang untuk mencapai suatu tujuan tertentu atau kurikulum. Dalam pelaksanaan evaluasidi cari bukti-bukti yang menunjukan diantaranya tentang kesesuaian program dengan visi dan misi pendidikan, kesesuaian programdengan tujuan pendidikan,kesesuaiannya dengan rencana strategis, kesesuaiannya dengann keberadaan peserta didik, kesesuaiannya dengan hasil yang di harapkan diperoleh dari pelaksanaan program,efektifitas pelaksanaab program,efisiensi pelaksanaan program baik sacara internal maupun eksternal, dan keefektifan biaya pelaksanaan program.
Evaluasi proses difokuskan pada proses pendidikan yang dilaksanakan serta berbagai variable yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut. Proses pendidikan merupakan interaksi edukatif antara guru dan pendidik dan peserta didik. Interaksi edukatif adalah interaksi yang bertujuan mendidik seperti dalam proses pembelajaran dan aktivitas lain. Adapun variabevariabel yabg terlibat dalam interaksi ini meliputi guru,siswa, lingkungan belajar, budaya, sarana, prasarana, sumber belajar, dan sebagainya, semua aktivitas dan variable ini menjadi vokus dalam evaluasi proses.
Model-Model Evaluasi Pendidikan
Sebagian besar pendidik memandang kegiatan utama sekolah adalah mempromosi pertumbuhan anak didik kearah tujuan individu dan social tang diinginkan. Oleh sebab sekolah memfokuskan pada kemajuan siswa sebagai kriteria utama maka perlu dievaluasi status dan perolehan kemampuan siswa, seperti sebaikmana si A melakukan sesuatu atau apakah mereka harus mencapai lebih baik.
21 Feb 2011
11 Feb 2011
Sufi
“TAUHID-KASIH” DARI SYEIKH HAMZAH FANSURI
Posted by Erwin on Feb 9th, 2009 in Spiritual | 9 comments
Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17
Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, ada beberapa tokoh Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh ajaran sufi dari Al Hallaj. Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang. Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali tersebut. Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Al Wujud” yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Al Hallaj.
Namun, dalam perkembangan berikutnya, juga ada seorang tokoh sufi lain di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat oleh paham Wahdatul Wujud dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang bernama Syeikh Hamzah Fansuri. Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup pada abad ke-17. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli mengatakan ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara). Tetapi Prof. A. Hasjmy dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam jaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam.
Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang zuhud dan banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa.
Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian di Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrasyah) di daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel). Di tempat kelahirannya ini pula kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid, tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.
Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian, Syeikh Hamzah Fansuri menganut paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan antara Mahluk dan Tuhan. Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi seperti Muhyidin Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Hallaj, Bayazid Al Bistami, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.
Pada saat itu di Sumatera, khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud yang melibatkan ahli-ahli tasawuf, ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin, yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para muridnya.
Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641), Syeikh Nuruddin Ar-Raniri diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan penulis penganut paham Wahdat Al Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja. Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar dan dibunuh.
Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.
Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor keilmuan dan kebudayaan Melayu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan bersifat ilmiah di dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Di bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli sasta Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang menuliskan puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.
Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh Hamzah Fansuri juga sangat besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan sastra dalam bahasa Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari), menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern. Tak mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk penyebaran agama, kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa administrasi dan pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang memberi peluang besar kepada bahasa Melayu untuk dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia dan Malaysia.
Namun, yang paling penting, dan sering luput dari perhatian para ahli sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran sufi atau tasawuf dari Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih tetap relevan bagi bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari Syeikh Hamzah Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi sekat-sekat kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan, ras, serta agama.
Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri
Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu.
Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14:
“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.
Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri. Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi, akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya sendiri. Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri, sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda, pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri. Ia bersiap sedia mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama, karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1 di bait 11:
“Hamzah miskin orang terbebaskan,
seperti Nabi Ismail menjadi qurban.
Fansuri bukannya Persia lagi Arabi,
selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.
Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih
Pandangan kesufian Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh Beliau:
“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid ma’rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat semata-mata,” suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu Keadaan Murni yang dikenal dengan istilah “No-Mind”.
Namun, tentu saja, untuk mencapai Keadaan Murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk melampaui setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi ketika “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.” Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu Keadaan Murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?
Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh pun ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.
“Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….
“Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam disebutkan sebagai buih…………..”
Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan Syeikh Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad SAW sendiri. Syeikh Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut itu satu bentuk, yaitu air.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih). Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul, jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.
Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai Kasih. Kemudian Syeikh Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya. Seperti kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula.”
Relevansi Ajaran Syeikh Hamzah Fansuri
Pesan-pesan yang dibawa Syeikh Hamzah Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Syeikh Hamzah Fansuri sangat menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu sesungguhnya “berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan seluruh mahluk-Nya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan bebas saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait 3 berikut ini:
“Rahman itulah yang bernama semesta,
Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja.
Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama:
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.”
Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau pandangan Syeikh Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh fanatisme sempit. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah, atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih. Esensi agama Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah kira-kira menurut pemahaman saya tentang pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.
Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang.
Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum fanatisme sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.
Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan Arab ke tubuh Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali kita tengok pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul “Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:
“Ilmunya ilmu yang pertama,
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama.”
Di dalam syair ini, Syeikh Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai (Burung Yang Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian ini, Syeikh Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab Kasih”. Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi, kesimpulan Syeikh Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama atau kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.
Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam. Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan “Surga-Kasih” dari Syeikh Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini. Semoga Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia beserta seluruh mahluk-Nya. Amin.
Oleh Ahmad Yulden Erwin
Pustaka:
A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.
Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996
Posted by Erwin on Feb 9th, 2009 in Spiritual | 9 comments
Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17
Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, ada beberapa tokoh Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh ajaran sufi dari Al Hallaj. Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang. Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali tersebut. Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Al Wujud” yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Al Hallaj.
Namun, dalam perkembangan berikutnya, juga ada seorang tokoh sufi lain di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat oleh paham Wahdatul Wujud dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang bernama Syeikh Hamzah Fansuri. Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup pada abad ke-17. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli mengatakan ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara). Tetapi Prof. A. Hasjmy dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam jaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam.
Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang zuhud dan banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa.
Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian di Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrasyah) di daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel). Di tempat kelahirannya ini pula kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid, tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.
Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian, Syeikh Hamzah Fansuri menganut paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan antara Mahluk dan Tuhan. Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi seperti Muhyidin Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Hallaj, Bayazid Al Bistami, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.
Pada saat itu di Sumatera, khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud yang melibatkan ahli-ahli tasawuf, ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin, yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para muridnya.
Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641), Syeikh Nuruddin Ar-Raniri diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan penulis penganut paham Wahdat Al Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja. Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar dan dibunuh.
Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.
Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor keilmuan dan kebudayaan Melayu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan bersifat ilmiah di dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Di bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli sasta Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang menuliskan puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.
Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh Hamzah Fansuri juga sangat besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan sastra dalam bahasa Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari), menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern. Tak mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk penyebaran agama, kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa administrasi dan pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang memberi peluang besar kepada bahasa Melayu untuk dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia dan Malaysia.
Namun, yang paling penting, dan sering luput dari perhatian para ahli sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran sufi atau tasawuf dari Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih tetap relevan bagi bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari Syeikh Hamzah Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi sekat-sekat kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan, ras, serta agama.
Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri
Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu.
Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14:
“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.
Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri. Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi, akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya sendiri. Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri, sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda, pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri. Ia bersiap sedia mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama, karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1 di bait 11:
“Hamzah miskin orang terbebaskan,
seperti Nabi Ismail menjadi qurban.
Fansuri bukannya Persia lagi Arabi,
selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.
Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih
Pandangan kesufian Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh Beliau:
“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid ma’rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat semata-mata,” suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu Keadaan Murni yang dikenal dengan istilah “No-Mind”.
Namun, tentu saja, untuk mencapai Keadaan Murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk melampaui setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi ketika “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.” Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu Keadaan Murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?
Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh pun ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.
“Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….
“Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam disebutkan sebagai buih…………..”
Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan Syeikh Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad SAW sendiri. Syeikh Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut itu satu bentuk, yaitu air.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih). Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul, jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.
Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai Kasih. Kemudian Syeikh Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya. Seperti kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula.”
Relevansi Ajaran Syeikh Hamzah Fansuri
Pesan-pesan yang dibawa Syeikh Hamzah Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Syeikh Hamzah Fansuri sangat menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu sesungguhnya “berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan seluruh mahluk-Nya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan bebas saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait 3 berikut ini:
“Rahman itulah yang bernama semesta,
Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja.
Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama:
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.”
Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau pandangan Syeikh Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh fanatisme sempit. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah, atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih. Esensi agama Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah kira-kira menurut pemahaman saya tentang pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.
Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang.
Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum fanatisme sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.
Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan Arab ke tubuh Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali kita tengok pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul “Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:
“Ilmunya ilmu yang pertama,
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama.”
Di dalam syair ini, Syeikh Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai (Burung Yang Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian ini, Syeikh Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab Kasih”. Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi, kesimpulan Syeikh Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama atau kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.
Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam. Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan “Surga-Kasih” dari Syeikh Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini. Semoga Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia beserta seluruh mahluk-Nya. Amin.
Oleh Ahmad Yulden Erwin
Pustaka:
A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.
Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996
Bahaya Merokok
Bagaimana Cara Berhenti Merokok????????????.................
Iklan rokok dan berbagai cara pemasaran rokok seola-olah bersaing dengan iklan anti rokok atau peringatan bahaya antiroko yang di keluarkan pemerintah.persaingan ketat ini melahirkan penafsiran: Ternyata yang menang justru iklan ROKOK yang sangat menggoda itu. Dampaknya sangat kuat sehingga jumlah perokok setiap hari terus bertambah. Inilah kenyataan yang paling menyedihkan.
Mengapa ROKOK tidak di larang???? Inilah pertanyaan yang dilematis. Di satu sisi ROKOK membahayakan Kesehatan.
Berapa biaya yang harus di bayar pemerintah akibat dampak negative ROKOK????? Berdasarkan Data Bank Dunia pada 1990, Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan 1,7 TRILUN rupiah untuk membayar kesehatan rakyat akibat ROKOK. Saat itu pendapatan pemerintah dari cukai ROKOK 2,6 TRILIUN rupiah. Adapun masyarakat sendiri harus membayar biaya pengobatan akibat ROKOK senilai 14,5 TRILUN rupiah. Hal itu terjadi di Indonesia, sedangkan di Guetemala lebih parah lagi. Biaya yang di keluarkan pemerintah untuk menangani berbagai penyakit akibat ROKOK sekitar 800 juta dolar AS, di Costa Rika 534 juta dolar AS,dan di india mencapai 8 miliar dolar AS.lalu,mengapa tembakau masih tetap ditanam di berbagai Negara?
Hampir setiap perokok yang sungguh-sungguh ingin berhenti meROKOK akan menghadapi suatu perjuangan yang hebat.
Langkah-langkah untuk membantu berhenti meROKOK
1. Bertekadlah dengan sungguh-sungguh untuk berhenti meROKOK dan mulailah dalam waktu dekat. Walaupun kebiasaan meROKOK sudah sangat kuat, pengendalian diri lebih penting. Ini bias menekan keinginan meROKOK pelan-pelan di hentikan.
2. Hindari dan buanglah sisa ROKOK yang masih ada di tempat kita. Lalu, Jauhkan benda yang ada hubungannya dengan ROKOK, Misalnya ASBAK.menjauhlah dari tempat kita biasa meROKOK. Jauhkan diri kita dari para peROKOK lain sedapat mungkin, Khususnya selama beberapa minggu berikutnya. Hal ini akan menjauhkan godaan dan menguatkan keputusan kita untuk tidak mengawalinya lagi.
3. Minumlah air sekurang-kurangnya 8 gelas sehari. Gantilah kopi,teh,dan minuman bersoda dengan sri buah atau jus. Karena kopi,the dan minuman bersoda dapat merangsang kita untuk meROKOK kembali.
4. Usahakanlah kita agar selalu sibuk atau berkiprah dengan kegiatan lain. Lakukanlah olah raga di alam terbuka, cukup gerak badan, dan bernapaslah dalam-dalam. Ini akan membersihkan paru-paru dan memperbaiki perasaan kesehatan kita. Lakukanlahhobi kuta dalam waktu luang.
5. Jagalah makanan kita. Usahakanlah makan banyak buah dan sayuran yang segar. Ini merupakan suatu usaha penawar yang manjur melawan racun tembakau.
6. Usahakanlah waktu tidur kita cukup antara 7 atau 8 jam sehari. Juga sehari dalam seminggu untuk istirahat. Sering seseorang meROKOK untuk mengurangi ketegangan, tetapi tidur dan istirahat menghilangkan ketegangan,lebih baik dari pada meROKOK.
7. Bau ROKOk akan mengingatkan kita untuk meROKOK. Usahakan sikat gigi segera setelah habis makan.
8. Jangan RAGU-RAGU dalam berkeputusan untuk MENGALAHKAN kebiasaan meROKOK itu.
9. Kalau niat kuat dan segala usaha telah di lakukan demi menghentikan kebiasaan buruk meROKOK, Jangan lupa bersyukur dan berdo’a kepada ALLAH SWT. Renungkanlah segala nikmat-Nya berupa kesehatan. Jika nikmat berupa Kesehatan itu di SIA-SIAkan,sungguh kita adalah orang yang sangat merugi.
Apakah yang terjadi pada tubuh seorang peROKOK??????.............
Gangguan kesehatan apakah yang di timbulkannya??????????.........
1.Mata Katarak
Semakin banyak meROKOK, Semakin besar kemungkinan mata terkena Katarak. Katarak ini adalah masalah mata yang serius, bahkan bias menyebabkan kebutaan.
2.Pembuluh Darah
PeROKOK mengalami kerusakan lapisan sel pada dinding pembuluh darah. Lemak mudah tertimbun dan aliran darah terganggu. Karbon dioksida terabsorpsi (terserap) dalam darah, membuat transportasi (pengangkutan) oksigen dalam tubuh mengalami gangguan.
3.Paru-Paru
Pada paru-paru peROKOK, ada senyawa lengket yang di sebut TAR. Kapasitas paru-paru menurun. PeROKOK mudah terserang BRONKITIS (radang saluran pernapasan),sesak napas,dan asma serta amphysema(pembengkakan paru-paru). Perokok memiliki kemungkinan meninggal karena kanker paru-paru 20 kali lebih besar dari pada bukan peROKOK.
4.Psiriasis
PeROKOK memiliki kemungkinan terkena psoriasis 2 kali lebih besar dari pada bukan peROKOK. Psiriasis adalah penyakit kulit menahun yang sangat gatal,di tandai oleh petak-petak kemerahan, kering dan mengelupas berupa serpihan warna perak.
5.Luka Lambung
PeROKOK lebih rentan untuk terkena luka lambung.
6.Otak
Cara kerja otak peROKOK sangat terpengaruh. Nikotin dalam ROKOK adalah senyawa kimia yang sangat kuat sehingga dapat menyebabkan kecanduan dan mempengaruhi cara kerja otak.
7.Kulit
MeROKOK menyebabkan aliran darah kekulit menjadi berkurang. Akibatnya,Kulit cepat keriput.
8.Mulut
Gigi menjadi kuning bernoda. Napas menjadi bau. Indra perasa di lidahnya terganggu sehingga rasa makanan tidak enak lagi. Besar kemungkinan peROKOk terkena kanker mulut,lidah,dan bibir.
9.Tenggorokan
Saat asap ROKOK memasuki tenggorokan,senyawa kimia penyebab kanker yang terdapat di asap terkumpul pada selaput mucous(selaput lendir). peROKOK besar kemungkinan terkena kanker tenggorokan.
10.Jantung
MeROKOK adalah penyebab utama serangan jantung.Sejak isapan pertama, jantung akan berdenyut lebih keras. Pembuluh darah menciut,tekanan darah naik dan jantung harus bekerja lebih keras. PeROKOK lebih mudah terkena stoke dan serangan jantung.
11.Jari dan Kuku
Kandungan TAR pada tembakau membuat jari-jari PeROKOK menguning dan kukunya bernoda hitam.
rAYFA AZZAHRA
Iklan rokok dan berbagai cara pemasaran rokok seola-olah bersaing dengan iklan anti rokok atau peringatan bahaya antiroko yang di keluarkan pemerintah.persaingan ketat ini melahirkan penafsiran: Ternyata yang menang justru iklan ROKOK yang sangat menggoda itu. Dampaknya sangat kuat sehingga jumlah perokok setiap hari terus bertambah. Inilah kenyataan yang paling menyedihkan.
Mengapa ROKOK tidak di larang???? Inilah pertanyaan yang dilematis. Di satu sisi ROKOK membahayakan Kesehatan.
Berapa biaya yang harus di bayar pemerintah akibat dampak negative ROKOK????? Berdasarkan Data Bank Dunia pada 1990, Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan 1,7 TRILUN rupiah untuk membayar kesehatan rakyat akibat ROKOK. Saat itu pendapatan pemerintah dari cukai ROKOK 2,6 TRILIUN rupiah. Adapun masyarakat sendiri harus membayar biaya pengobatan akibat ROKOK senilai 14,5 TRILUN rupiah. Hal itu terjadi di Indonesia, sedangkan di Guetemala lebih parah lagi. Biaya yang di keluarkan pemerintah untuk menangani berbagai penyakit akibat ROKOK sekitar 800 juta dolar AS, di Costa Rika 534 juta dolar AS,dan di india mencapai 8 miliar dolar AS.lalu,mengapa tembakau masih tetap ditanam di berbagai Negara?
Hampir setiap perokok yang sungguh-sungguh ingin berhenti meROKOK akan menghadapi suatu perjuangan yang hebat.
Langkah-langkah untuk membantu berhenti meROKOK
1. Bertekadlah dengan sungguh-sungguh untuk berhenti meROKOK dan mulailah dalam waktu dekat. Walaupun kebiasaan meROKOK sudah sangat kuat, pengendalian diri lebih penting. Ini bias menekan keinginan meROKOK pelan-pelan di hentikan.
2. Hindari dan buanglah sisa ROKOK yang masih ada di tempat kita. Lalu, Jauhkan benda yang ada hubungannya dengan ROKOK, Misalnya ASBAK.menjauhlah dari tempat kita biasa meROKOK. Jauhkan diri kita dari para peROKOK lain sedapat mungkin, Khususnya selama beberapa minggu berikutnya. Hal ini akan menjauhkan godaan dan menguatkan keputusan kita untuk tidak mengawalinya lagi.
3. Minumlah air sekurang-kurangnya 8 gelas sehari. Gantilah kopi,teh,dan minuman bersoda dengan sri buah atau jus. Karena kopi,the dan minuman bersoda dapat merangsang kita untuk meROKOK kembali.
4. Usahakanlah kita agar selalu sibuk atau berkiprah dengan kegiatan lain. Lakukanlah olah raga di alam terbuka, cukup gerak badan, dan bernapaslah dalam-dalam. Ini akan membersihkan paru-paru dan memperbaiki perasaan kesehatan kita. Lakukanlahhobi kuta dalam waktu luang.
5. Jagalah makanan kita. Usahakanlah makan banyak buah dan sayuran yang segar. Ini merupakan suatu usaha penawar yang manjur melawan racun tembakau.
6. Usahakanlah waktu tidur kita cukup antara 7 atau 8 jam sehari. Juga sehari dalam seminggu untuk istirahat. Sering seseorang meROKOK untuk mengurangi ketegangan, tetapi tidur dan istirahat menghilangkan ketegangan,lebih baik dari pada meROKOK.
7. Bau ROKOk akan mengingatkan kita untuk meROKOK. Usahakan sikat gigi segera setelah habis makan.
8. Jangan RAGU-RAGU dalam berkeputusan untuk MENGALAHKAN kebiasaan meROKOK itu.
9. Kalau niat kuat dan segala usaha telah di lakukan demi menghentikan kebiasaan buruk meROKOK, Jangan lupa bersyukur dan berdo’a kepada ALLAH SWT. Renungkanlah segala nikmat-Nya berupa kesehatan. Jika nikmat berupa Kesehatan itu di SIA-SIAkan,sungguh kita adalah orang yang sangat merugi.
Apakah yang terjadi pada tubuh seorang peROKOK??????.............
Gangguan kesehatan apakah yang di timbulkannya??????????.........
1.Mata Katarak
Semakin banyak meROKOK, Semakin besar kemungkinan mata terkena Katarak. Katarak ini adalah masalah mata yang serius, bahkan bias menyebabkan kebutaan.
2.Pembuluh Darah
PeROKOK mengalami kerusakan lapisan sel pada dinding pembuluh darah. Lemak mudah tertimbun dan aliran darah terganggu. Karbon dioksida terabsorpsi (terserap) dalam darah, membuat transportasi (pengangkutan) oksigen dalam tubuh mengalami gangguan.
3.Paru-Paru
Pada paru-paru peROKOK, ada senyawa lengket yang di sebut TAR. Kapasitas paru-paru menurun. PeROKOK mudah terserang BRONKITIS (radang saluran pernapasan),sesak napas,dan asma serta amphysema(pembengkakan paru-paru). Perokok memiliki kemungkinan meninggal karena kanker paru-paru 20 kali lebih besar dari pada bukan peROKOK.
4.Psiriasis
PeROKOK memiliki kemungkinan terkena psoriasis 2 kali lebih besar dari pada bukan peROKOK. Psiriasis adalah penyakit kulit menahun yang sangat gatal,di tandai oleh petak-petak kemerahan, kering dan mengelupas berupa serpihan warna perak.
5.Luka Lambung
PeROKOK lebih rentan untuk terkena luka lambung.
6.Otak
Cara kerja otak peROKOK sangat terpengaruh. Nikotin dalam ROKOK adalah senyawa kimia yang sangat kuat sehingga dapat menyebabkan kecanduan dan mempengaruhi cara kerja otak.
7.Kulit
MeROKOK menyebabkan aliran darah kekulit menjadi berkurang. Akibatnya,Kulit cepat keriput.
8.Mulut
Gigi menjadi kuning bernoda. Napas menjadi bau. Indra perasa di lidahnya terganggu sehingga rasa makanan tidak enak lagi. Besar kemungkinan peROKOk terkena kanker mulut,lidah,dan bibir.
9.Tenggorokan
Saat asap ROKOK memasuki tenggorokan,senyawa kimia penyebab kanker yang terdapat di asap terkumpul pada selaput mucous(selaput lendir). peROKOK besar kemungkinan terkena kanker tenggorokan.
10.Jantung
MeROKOK adalah penyebab utama serangan jantung.Sejak isapan pertama, jantung akan berdenyut lebih keras. Pembuluh darah menciut,tekanan darah naik dan jantung harus bekerja lebih keras. PeROKOK lebih mudah terkena stoke dan serangan jantung.
11.Jari dan Kuku
Kandungan TAR pada tembakau membuat jari-jari PeROKOK menguning dan kukunya bernoda hitam.
rAYFA AZZAHRA
Ulumul Qur'an
osted January 21st, 2008 by agus setyoso
• Ulumul Qur'an
BAB I. PENDAHULUAN
1. Sejarah Penulisan Al Qur'an
Pertama: Penulisan Al Qur'an di masa Rasulullah saw.
Atas perintah Nabi saw., Al Qur'an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu ada beberapa sahabat yang menulis sendiri beberapa juz dan surat yang mereka hafal dari Rasulullah saw.
Kedua: Penulisan Al Qur'an di masa Abu Bakar As Shiddiq.
Atas anjuran Umar ra., Abu Bakar ra. memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu menjadi satu mushaf.
Ketiga: Penulisan Al Qur'an di masa Usman bin 'Affan.
Untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan
bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris.
Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam.
Keempat: Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga fase;
Pertama: Mu'awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda bacaan (ikrab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca.
Kedua: Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.
Ketiga: Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.
2. Sejarah Tafsir Dan Metodenya
Penulis tidak membagi pembahasan tentang sejarah tafsir menjadi dua bagian yaitu sejarah metode tafsir dan sejarah pembukuan tafsir, ini karena terbatasnya makalah yang ingin ditulis.
2.1 Definisi Tafsir
Tafsir Secara etimologi berarti: (??????? ???????) penjelasan1 Adapun secara terminologi terdapat banyak sekali definisi tentang tafsir, namun penulis membawa dua definisi saja. Menurut Azzarkasyi tafsir adalah ilmu untuk memahami Al-Qur’an beserta maknanya, hukum dan hikmahnya 2
Namun Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya 3. Kebanyakan ulama membedakan antara tafsir dan takwil namun ada juga yang berpendapat keduanya memiliki maksud yang sama sebagai mana pendapat Ibnu Al'arabi4.
Takwil menurut Ibnu Al-jauzi adalah menukar maksud asli lafadz tersebut dengan maksud yang lain karena ada hal yang menunjukkan ke arah tersebut 5.
Para ulama tidak menganggap terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa asing termasuk bagian dari penafsiran Al-Qur’an, karena maksud dari terjemahan Al-Qur’an adalah memindahkan lafadz Al-Qur’an ke dalam bahasa selain bahasa Arab dengan pengertian yang sama tanpa ada tambahan atau pengurangan.
2.2 Metode Tafsir
metode tafsir merupakan cara-cara penafsiran Al Qur'an dengan tujuan agar mudah difahami maksudnya. Metode ini terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam di segala waktu dan segala tempat.
BAB II Sejarah Tafsir
1.1 Tafsir Dan Metodenya Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Metode penafsiran Al-Qur’an pada zaman Nabi adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami Al-Qur’an adalah Rasulullah, beliau selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya. Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir Al-juhani berkata :
“Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah: siapkan kekuatan segenap kemampuanmu untuk menghadapi musuhmu lalu beliau bersabda: “Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”. (HR Abu Dawud, no 2516)
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori (4966) Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadanya (nanti) di surga.
1.2 Tafsir Dan Metodenya Pada Masa Shahabat.
Metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah melalui tiga macam cara; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, dengan kemampuan ijtihad dan cerita Israiliyat.
2.1 Tafsir Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Cara penafsirannya adalah melalui metode mujmal ditafsirkan oleh mubaiyin, muthlaq ditafsirkan oleh muqaiyad, Al-Am di tafsirkan oleh Al-Khas dan sebahagian qira-at ditafsirkan oleh qiara-at yang lain.
2.2 Tafsir Al-Qur’an Dengan Sunnah Rasulullah
Cara penafsirannya adalah melalui beberapa metode, antaranya:
Hadits berfungsi sebagai menyatakan yang mujmal dalam Al-qur'an, taudhihil musykil, takhsihsul Am dan taqyidul Muthlaq.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan makna lafadh atau yang berkaitan ayat dengan ayat dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan hukum tersendiri yang belum tersebut dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan nasakh ayat tertentu dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan penguatan ayat dalam Al-Qur’an
2.3 Tafsir Al-Qur’an Dengan Kemampuan Ijtihad.
Cara penafsirannya adalah melalui beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.Mengetahui kedudukan bahasa Arab dan rahasianya
2.Mengetahui adat orang Arab
3.Mengetahui kondisi kaum Yahudi dan Nashrani di kepulauan Arab pada waktu turun Al-Qur’an.
4.Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar6.
2.4 Tafsir Al-Qur’an dengan cerita Israiliyat.
Cara penafsirannya adalah melalui berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nashrani. Rasulullah pernah bersabda "jika dikisahkan padamu tentang Ahlul kitab maka janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta". Maksudnya ialah supaya kaum muslimin menyelidiki dahulu kebenaran hal tersebut, setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.
Di antara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas7.
1.3 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:
1.Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thawus Al-Yamany dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.
2.Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradli.
3.Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabi’in bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan di antara mereka maka pendapat tersebut tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya8.
1.4 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman tabi' tabi'in
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3 Hijriah atau zaman sesudah zaman Tabi'in. di zaman inilah munculnya para imam-imam mazhab dalam fiqh. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini mulai mencantumkan nama guru tempat mereka mengambil hadits yang sanadnya sampai ke Rasulullah Saw. Penulis tafsir yang terkenal di zaman ini antaranya Al-Waqidi (wafat 207), sesudah itu ibnu Jarir Ath-thabarri (wafat 310)9.
1.5 Tafsir Dan Metodenya Pada Abad 4 H – 12 H
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4 Hijriah atau zaman sesudah zaman salaf. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in saja tetapi telah mulai bekerja menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu filsafat telah dipelajari. Buku tafsir di periode awal seperti nik wal 'uyun oleh Al-mawardi, bahrul ulum oleh samrqandi, tafsir al-bughawi dan lain-lain. Pada zaman ini banyak sekali melahirkan buku tafsir dengan berbagai gaya penafsiran seperti gaya sastra bahasa, gaya kisah-kisah, gaya filsafat, gaya teologi, gaya penafsiran ilmiah, gaya fiqih atau hukum, gaya tasawuf dan lain-lain.
1.6 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Modern (12 H – 14 H)
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini sastra budaya kemasyarakatan yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti unsur kesehatan dan kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar10. Di antara tokoh di zaman ini Syaikh Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb dan lain-lain.
BAB III Tafsir Ke dalam Bahasa Indonesia
Usaha penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh A.Hasyim cs tahun 1936 namun tidak lengkap. Tafsir pertama yang paling lengkap dalam bahasa Indonesia oleh Pro. T.M. Hasbi Ash Shidieqy dari Aceh tahun 195611.
BAB IV Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Asing
Setelah umat Islam tersebar di berbagai pelosok dunia maka keinginan untuk mengetahui Al-Qur’an dengan bahasanya sendiri semakin meningkat maka timbullah usaha untuk menterjemahkan Al-Qur’an ke berbagai bahasa dunia.
4.1 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Barat
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Eropa terjadi pada tahun 1135 M untuk keperluan biara Clugny, kemudian menyusul dalam bahasa Jerman oleh Boysen tahun 1773. adapun terjemahan dalam bahasa Inggris pertama kali oleh A. Ross yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis tahun 1647. terjemahan Al-Qur'an yang paling terkenal di dunia Barat dan Timur ialah Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an Text tahun 1934.
4.2 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Indonesia
Seiring perjalanan waktu, Al-Qur'an telah diterjemahkan hampir dalam seluruh bahasa dunia, tidak terkecuali bahasa Indonesia. Al-Qur'an diterjemah ke dalam bahasa Melayu Indonesia pertama kali pada pertengahan abad 17 M oleh Abdul Rauf Fansury, seorang ulama dari singkel Aceh12.
BAB V KESIMPULAN
Demikian perkembangan penafsiran Al-Qur’an dari segi sejarah dan metodenya secara singkat mulai dari masa Rasulullah hingga saat ini, maka dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran ada yang di buat berdasarkan riwayat atau bil maksur atau berdasarkan akal dengan kata lain birrakyi.
Adapun upaya-upaya penafsiran lebih dalam dan mengupas makna untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses yang sangat panjang dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafadz dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
3Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Bairut 1980.
4Manna’ Al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an, Bairut 1982.
5Azzarkasyi, Alburhan Fi Ulumil Qur'an, Dar Ihya Qutub Al'arabiyah:1957
6Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, Kuwait: Daar al-Dakwah: 1995.
7Ibnu Al-Arabi, Tahzhibul Lughah, Lubnan: 1995.
8Ibnu Al-jauzi, Nuzhahatu A'yuninnawadhir Fi Ilmil Wujuh Wan Nadhair, Bairut: 1990.
9Sunan Abu Dawud, Bairut: 1990.
10Shaheh Bukhari, Bairut: 1990.
11Masa'id Thaiyar, Mafhum At-Tafsir, Lubnan: 1993.
12Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Bairut: 1987.
13Mukaddimah Terjemahan Al-Qur'an Arab Saudi, Saudi Arabia
14Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996.
•
• Ulumul Qur'an
BAB I. PENDAHULUAN
1. Sejarah Penulisan Al Qur'an
Pertama: Penulisan Al Qur'an di masa Rasulullah saw.
Atas perintah Nabi saw., Al Qur'an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu ada beberapa sahabat yang menulis sendiri beberapa juz dan surat yang mereka hafal dari Rasulullah saw.
Kedua: Penulisan Al Qur'an di masa Abu Bakar As Shiddiq.
Atas anjuran Umar ra., Abu Bakar ra. memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu menjadi satu mushaf.
Ketiga: Penulisan Al Qur'an di masa Usman bin 'Affan.
Untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan
bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris.
Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam.
Keempat: Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga fase;
Pertama: Mu'awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda bacaan (ikrab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca.
Kedua: Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.
Ketiga: Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.
2. Sejarah Tafsir Dan Metodenya
Penulis tidak membagi pembahasan tentang sejarah tafsir menjadi dua bagian yaitu sejarah metode tafsir dan sejarah pembukuan tafsir, ini karena terbatasnya makalah yang ingin ditulis.
2.1 Definisi Tafsir
Tafsir Secara etimologi berarti: (??????? ???????) penjelasan1 Adapun secara terminologi terdapat banyak sekali definisi tentang tafsir, namun penulis membawa dua definisi saja. Menurut Azzarkasyi tafsir adalah ilmu untuk memahami Al-Qur’an beserta maknanya, hukum dan hikmahnya 2
Namun Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya 3. Kebanyakan ulama membedakan antara tafsir dan takwil namun ada juga yang berpendapat keduanya memiliki maksud yang sama sebagai mana pendapat Ibnu Al'arabi4.
Takwil menurut Ibnu Al-jauzi adalah menukar maksud asli lafadz tersebut dengan maksud yang lain karena ada hal yang menunjukkan ke arah tersebut 5.
Para ulama tidak menganggap terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa asing termasuk bagian dari penafsiran Al-Qur’an, karena maksud dari terjemahan Al-Qur’an adalah memindahkan lafadz Al-Qur’an ke dalam bahasa selain bahasa Arab dengan pengertian yang sama tanpa ada tambahan atau pengurangan.
2.2 Metode Tafsir
metode tafsir merupakan cara-cara penafsiran Al Qur'an dengan tujuan agar mudah difahami maksudnya. Metode ini terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam di segala waktu dan segala tempat.
BAB II Sejarah Tafsir
1.1 Tafsir Dan Metodenya Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Metode penafsiran Al-Qur’an pada zaman Nabi adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami Al-Qur’an adalah Rasulullah, beliau selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya. Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir Al-juhani berkata :
“Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah: siapkan kekuatan segenap kemampuanmu untuk menghadapi musuhmu lalu beliau bersabda: “Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”. (HR Abu Dawud, no 2516)
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori (4966) Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadanya (nanti) di surga.
1.2 Tafsir Dan Metodenya Pada Masa Shahabat.
Metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah melalui tiga macam cara; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, dengan kemampuan ijtihad dan cerita Israiliyat.
2.1 Tafsir Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Cara penafsirannya adalah melalui metode mujmal ditafsirkan oleh mubaiyin, muthlaq ditafsirkan oleh muqaiyad, Al-Am di tafsirkan oleh Al-Khas dan sebahagian qira-at ditafsirkan oleh qiara-at yang lain.
2.2 Tafsir Al-Qur’an Dengan Sunnah Rasulullah
Cara penafsirannya adalah melalui beberapa metode, antaranya:
Hadits berfungsi sebagai menyatakan yang mujmal dalam Al-qur'an, taudhihil musykil, takhsihsul Am dan taqyidul Muthlaq.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan makna lafadh atau yang berkaitan ayat dengan ayat dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan hukum tersendiri yang belum tersebut dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan nasakh ayat tertentu dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan penguatan ayat dalam Al-Qur’an
2.3 Tafsir Al-Qur’an Dengan Kemampuan Ijtihad.
Cara penafsirannya adalah melalui beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.Mengetahui kedudukan bahasa Arab dan rahasianya
2.Mengetahui adat orang Arab
3.Mengetahui kondisi kaum Yahudi dan Nashrani di kepulauan Arab pada waktu turun Al-Qur’an.
4.Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar6.
2.4 Tafsir Al-Qur’an dengan cerita Israiliyat.
Cara penafsirannya adalah melalui berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nashrani. Rasulullah pernah bersabda "jika dikisahkan padamu tentang Ahlul kitab maka janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta". Maksudnya ialah supaya kaum muslimin menyelidiki dahulu kebenaran hal tersebut, setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.
Di antara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas7.
1.3 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:
1.Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thawus Al-Yamany dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.
2.Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradli.
3.Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabi’in bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan di antara mereka maka pendapat tersebut tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya8.
1.4 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman tabi' tabi'in
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3 Hijriah atau zaman sesudah zaman Tabi'in. di zaman inilah munculnya para imam-imam mazhab dalam fiqh. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini mulai mencantumkan nama guru tempat mereka mengambil hadits yang sanadnya sampai ke Rasulullah Saw. Penulis tafsir yang terkenal di zaman ini antaranya Al-Waqidi (wafat 207), sesudah itu ibnu Jarir Ath-thabarri (wafat 310)9.
1.5 Tafsir Dan Metodenya Pada Abad 4 H – 12 H
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4 Hijriah atau zaman sesudah zaman salaf. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in saja tetapi telah mulai bekerja menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu filsafat telah dipelajari. Buku tafsir di periode awal seperti nik wal 'uyun oleh Al-mawardi, bahrul ulum oleh samrqandi, tafsir al-bughawi dan lain-lain. Pada zaman ini banyak sekali melahirkan buku tafsir dengan berbagai gaya penafsiran seperti gaya sastra bahasa, gaya kisah-kisah, gaya filsafat, gaya teologi, gaya penafsiran ilmiah, gaya fiqih atau hukum, gaya tasawuf dan lain-lain.
1.6 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Modern (12 H – 14 H)
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini sastra budaya kemasyarakatan yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti unsur kesehatan dan kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar10. Di antara tokoh di zaman ini Syaikh Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb dan lain-lain.
BAB III Tafsir Ke dalam Bahasa Indonesia
Usaha penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh A.Hasyim cs tahun 1936 namun tidak lengkap. Tafsir pertama yang paling lengkap dalam bahasa Indonesia oleh Pro. T.M. Hasbi Ash Shidieqy dari Aceh tahun 195611.
BAB IV Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Asing
Setelah umat Islam tersebar di berbagai pelosok dunia maka keinginan untuk mengetahui Al-Qur’an dengan bahasanya sendiri semakin meningkat maka timbullah usaha untuk menterjemahkan Al-Qur’an ke berbagai bahasa dunia.
4.1 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Barat
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Eropa terjadi pada tahun 1135 M untuk keperluan biara Clugny, kemudian menyusul dalam bahasa Jerman oleh Boysen tahun 1773. adapun terjemahan dalam bahasa Inggris pertama kali oleh A. Ross yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis tahun 1647. terjemahan Al-Qur'an yang paling terkenal di dunia Barat dan Timur ialah Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an Text tahun 1934.
4.2 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Indonesia
Seiring perjalanan waktu, Al-Qur'an telah diterjemahkan hampir dalam seluruh bahasa dunia, tidak terkecuali bahasa Indonesia. Al-Qur'an diterjemah ke dalam bahasa Melayu Indonesia pertama kali pada pertengahan abad 17 M oleh Abdul Rauf Fansury, seorang ulama dari singkel Aceh12.
BAB V KESIMPULAN
Demikian perkembangan penafsiran Al-Qur’an dari segi sejarah dan metodenya secara singkat mulai dari masa Rasulullah hingga saat ini, maka dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran ada yang di buat berdasarkan riwayat atau bil maksur atau berdasarkan akal dengan kata lain birrakyi.
Adapun upaya-upaya penafsiran lebih dalam dan mengupas makna untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses yang sangat panjang dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafadz dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
3Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Bairut 1980.
4Manna’ Al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an, Bairut 1982.
5Azzarkasyi, Alburhan Fi Ulumil Qur'an, Dar Ihya Qutub Al'arabiyah:1957
6Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, Kuwait: Daar al-Dakwah: 1995.
7Ibnu Al-Arabi, Tahzhibul Lughah, Lubnan: 1995.
8Ibnu Al-jauzi, Nuzhahatu A'yuninnawadhir Fi Ilmil Wujuh Wan Nadhair, Bairut: 1990.
9Sunan Abu Dawud, Bairut: 1990.
10Shaheh Bukhari, Bairut: 1990.
11Masa'id Thaiyar, Mafhum At-Tafsir, Lubnan: 1993.
12Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Bairut: 1987.
13Mukaddimah Terjemahan Al-Qur'an Arab Saudi, Saudi Arabia
14Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996.
•
Syekh Kholil Bangkalan Madura
KH KHOLIL adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salahsatunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau.
Seperti pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pe-ngasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulit-an. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah,” jelas Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.
***
MBAH Kholil sempat menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan.
Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.
Menurut KH Muhammad Ghozi Wahib, Mbah Kholil paling dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat itu. Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib.
”Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya,” katanya.
Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
Sumber : minggupagi online
Dibaca : 10009 kali
Seperti pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pe-ngasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulit-an. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah,” jelas Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.
***
MBAH Kholil sempat menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan.
Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.
Menurut KH Muhammad Ghozi Wahib, Mbah Kholil paling dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat itu. Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib.
”Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya,” katanya.
Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
Sumber : minggupagi online
Dibaca : 10009 kali
10 Feb 2011
Imam Besar
Syekh Nawawi Al Bantani
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i yaitu Imam Nawawi (w.676 H/l277 M).
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syekh asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga pesantren.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai penulis kitab, tapi juga beliau adalah mahaguru sejati (the great scholar). Syekh Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Beliau turut banyak membentuk ke-intelektual-an tokoh-tokoh para pendiri pesantren.
Riwayat Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Syekh Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nab saw.
Ayahnya bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, beliau mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah beliau kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri.
Syekh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah beliau melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali beliau mengikuti bimbingan dari Syekh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, beliau belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pernah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad
Nahrawi. Setelah memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram.
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit
dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra Min Asyar Li al-Hijrah, AI-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Bidang Teologi
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya Fath al-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud. Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.
Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam mensosialisasikan teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.
Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Bidang Fiqih
Sementara di bidang fiqih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab Imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ‘ala Fathul Qarib, sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Dan atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan beliau bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, beliau banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi.
Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Syekh Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin Imam Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Syekh Abdul Karim (pamannya sendiri), seorang ulama tasawuf asal Jawa yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yang ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metode tarbiyah tasawuf seperti guru-gurunya.
Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam (syari’at).
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Syekh Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Beliau dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf, dalam hal ini beiau lebih Ghazalian (mengikuti Al-Ghazali).
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Syekh Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern yang lihai dalam mengurai kebekuan antara fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi Syekh Nawawi, tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisannya dikaji di lembaga-Iembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya beliau diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia.
Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Syekh Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid beliau termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah:
• K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama)
• K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur
• K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam
• K.H Najihun dari Kampung Gunung Mauk, Tangerang yang menikahi cucu
perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi
• K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten
• K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten
• K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang, Banten
• K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta
• KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Syekh Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Syekh Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya adalah Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Peranan Syekh para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Syekh Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran beliau. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Syekh Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Syekh Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i yaitu Imam Nawawi (w.676 H/l277 M).
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syekh asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga pesantren.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai penulis kitab, tapi juga beliau adalah mahaguru sejati (the great scholar). Syekh Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Beliau turut banyak membentuk ke-intelektual-an tokoh-tokoh para pendiri pesantren.
Riwayat Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Syekh Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nab saw.
Ayahnya bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, beliau mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah beliau kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri.
Syekh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah beliau melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali beliau mengikuti bimbingan dari Syekh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, beliau belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pernah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad
Nahrawi. Setelah memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram.
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit
dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra Min Asyar Li al-Hijrah, AI-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Bidang Teologi
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya Fath al-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud. Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.
Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam mensosialisasikan teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.
Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Bidang Fiqih
Sementara di bidang fiqih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab Imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ‘ala Fathul Qarib, sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Dan atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan beliau bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, beliau banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi.
Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Syekh Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin Imam Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Syekh Abdul Karim (pamannya sendiri), seorang ulama tasawuf asal Jawa yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yang ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metode tarbiyah tasawuf seperti guru-gurunya.
Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam (syari’at).
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Syekh Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Beliau dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf, dalam hal ini beiau lebih Ghazalian (mengikuti Al-Ghazali).
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Syekh Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern yang lihai dalam mengurai kebekuan antara fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi Syekh Nawawi, tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisannya dikaji di lembaga-Iembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya beliau diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia.
Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Syekh Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid beliau termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah:
• K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama)
• K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur
• K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam
• K.H Najihun dari Kampung Gunung Mauk, Tangerang yang menikahi cucu
perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi
• K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten
• K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten
• K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang, Banten
• K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta
• KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Syekh Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Syekh Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya adalah Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Peranan Syekh para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Syekh Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran beliau. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Syekh Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Syekh Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
Muqoddimah
Segala puji bagi Allah, Yang nilai-Nya tak dapat diuraikan oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para penghitung, yang hak-hak-Nya atas ketaatan tak dapat di penuhi oleh orang-orang yang berusaha mentaati-Nya ; orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai,dan penyalaman pengertian tak dapat mencapai-Nya.
Segala puji bagi Allah, Yang telah menciptakan makhluk dengan Cinta dan memusnahkan makhluk pula karena Cinta. Sesungguhnya semua berawal dari-Nya dan akan berakhir kepada-Nya. Di antara awal dan akhir terdapat kehidupan,dan kehidupan akan tegak menakala disirami cahaya cinta.
Yang di terangi cahaya iman,yang dibimbing kearifan dan kebijaksanaan, yang berhati bersih, dan yang memiliki perasaan lembut.
Cintai kekasihmu sewajarnya(tidak berlebihan) karena mungkin saja suatu saat dia menjadi musuhmu, dan bencilah musuhmu sewajarnya karena mungkin saja suatu saat dia menjadi kekasihmu,
Pengrang al-Hikam al’Atha’iyah berkata, “Pencinta bukanlah orang yang mengharap ganti dari kekasihnya atau meminta Kepentingan kepadanya. “Cinta yang masih dilandasi syarat-syarat tertentu, bukanlah cinta, melainkan sebentuk rekayasa demi memperoleh kepentingan. Sikap dibuat-buat terhadap sesama hamba, biasanya berdasarkan keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Ini bukanlah cinta. Ini penipuan tingkat tinggi atas nama cinta.
Segala puji bagi Allah, Yang telah menciptakan makhluk dengan Cinta dan memusnahkan makhluk pula karena Cinta. Sesungguhnya semua berawal dari-Nya dan akan berakhir kepada-Nya. Di antara awal dan akhir terdapat kehidupan,dan kehidupan akan tegak menakala disirami cahaya cinta.
Yang di terangi cahaya iman,yang dibimbing kearifan dan kebijaksanaan, yang berhati bersih, dan yang memiliki perasaan lembut.
Cintai kekasihmu sewajarnya(tidak berlebihan) karena mungkin saja suatu saat dia menjadi musuhmu, dan bencilah musuhmu sewajarnya karena mungkin saja suatu saat dia menjadi kekasihmu,
Pengrang al-Hikam al’Atha’iyah berkata, “Pencinta bukanlah orang yang mengharap ganti dari kekasihnya atau meminta Kepentingan kepadanya. “Cinta yang masih dilandasi syarat-syarat tertentu, bukanlah cinta, melainkan sebentuk rekayasa demi memperoleh kepentingan. Sikap dibuat-buat terhadap sesama hamba, biasanya berdasarkan keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Ini bukanlah cinta. Ini penipuan tingkat tinggi atas nama cinta.
Langganan:
Postingan (Atom)